UmatHindu di Bali akan menggelar Karya Agung Panca Wali Krama di Pura Besakih yakni Panca Wali Krama pada 6 Maret 2019 mendatang. Karya yang berlangsung set
Prof. Dr. IGN Sudiana, BP/dokDENPASAR, – Umat Hindu di Bali akan menggelar Karya Agung Panca Wali Krama di Pura Besakih yakni Panca Wali Krama pada 6 Maret 2019 mendatang. Karya yang berlangsung setiap 10 tahun sekali merupakan karya terbesar kedua setelah Eka Dasa Rudra yang berlangsung setiap 100 tahun sekali. Karya Agung ini telah ditetapkan berdasarkan Pesamuan Madya yang digelar Parisada Hindu Dharma Indonesia PHDI Provinsi Bali pada 16 Agustus 2018 lalu di Kantor PHDI Bali di Jalan Ratna, satu point keputusan adalah adanya pelarangan melakukan upacara atiwa-tiwa/ngaben dalam rentang waktu dari tanggal 20 Januari hingga 4 April ini dilakukan untuk menjaga kesucian dan keberhasilan Yadnya Panca Wali Krama tersebut. Apabila ada yang meninggal setelah tanggal 20 Januari 2019, maka diatur sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan. Apabila ada yang meninggal dunia boleh “mekinsan” di pertiwi dan dilakukan pada sore hari, namun tidak mendapatkan tirta yang meninggal adalah Sulinggih dwijati, Pemangku atau mereka yang menurut dresta tidak boleh dipendem, secepatnya dikremasi dan juga diperkenankan untuk “ngelelet sawa”.Bagi yang masih berstatus walaka tidak sampai munggah tumpang salu. Sedangkan bagi Sulinggih dwijati dapat dilanjutkan sampai munggah tumpang lainnya adalah, apabila memiliki jenasah belum diaben, agar nunas Tirtha Pemarisudha dari Pura Dalem Puri Besakih yang sebelumnya sudah dibagikan kepada seluruh umat Hindu di Bali, kemudian dipercikkan ke jenasah dengan terlebih dahulu menghaturkan itu, bagi umat Hindu yang berada di luar Bali agar melaksanakan Yasa Kerti disesuaikan dengan kondisi daerah apa yang mendasari adanya larangan melaksanakan upacara pengabenan selama rangkaian Karya Agung Panca Bali Krama tersebut?Ketua PHDI Provinsi Bali, Prof Dr. I Gusti Ngurah Sudiana, saat dikonfirmasi menyebutkan bahwa karya-karya Agung seperti Panca Wali Krama merupakan proses penyucian alam. Oleh karenanya, selama batas waktu tertentu dilakukan proses negtegan karya atau mapanyengker agar peristiwa-peristiwa suci bisa dipertahankan guna mendukung kesuksesan penyelenggaraan karya agung tersebut.“Larangan melaksanakan upacara pengabenan saat karya agung Panca Wali Krama juga tertuang dalam sejumlah sastra agama atau lontar seperti Lontar Bhama Kertih,”ujar Rektor IHDN Denpasar ini, Selasa 8/1 kemarin. winata/balipostKegiatan ini diikuti 10 ribu perserta, selain merupakan wujud nyata implementasi pergub 97 tahun 2018, juga untuk menyongsong Karya Agung Panca Wali Krama, dan kami harap selama karya maupun sesudahnya pura Besakih bisa bersih dari sampah plastik.
DENPASAR- Bulan Maret 2019 ini akan digelar upacara Panca Wali Krama di Besakih. Menurut Ketua PHDI Bali, Prof. Dr. I Gusti Ngurah Sudiana banyak hal istimewa yang ada dalam upacara yang digelar 10 tahun sekali ini. Salah satunya yakni penggunaan hewan-hewan atau binatang langka sebagai sarana upakara. Menurut Sudiana, binatang yang digunakan seperti penyu kura-kura, belibis, buaya kecil, harimau, hingga singa. "Kalau misalnya hewan langka itu tidak ada, akan dibuatkan replikanya dengan tepung yang kemudian oleh sang sulinggih akan dihidupkan atau dipasupati," kata Sudiana saat ditemui di IHDN Denpasar, Selasa 19/2/2019. Menurut Sudiana, digunakannya binatang ini karena semua binatang memiliki kesempatan untuk didoakan agar kehidupannya menjadi lebih baik. Selain itu, dalam memotong hewan-hewan ini, Sudiana mengatakan akan ada pelatihan menyembelih hewan untuk mengurangi penderitaan hewan yang disembelih. "Nanti ada dari Dinas Peternakan yang akan memberitahu, agar mengurangi sakit pada hewan. Mungkin sebelum disembelih dielus-elus dahulu, biar tidak seperti dulu habis mapepada pileganga dipelintir lehernya," imbuh Sudiana. Adapun pantangan bagi pemedek, selain larangan untuk mereka yang sedang cuntaka yakni dilarang membawa tas kresek. Apalagi saat nunas tirta, ia berharap pemedek menggunakan gelas atau toples. "Untuk pemedek jangan bawa tas kresek, apalagi nuur tirta pakai plastik, agar Besakih bersih dari plastik," katanya. Selain itu, canang atau bunga sisa untuk sembahyang agar dibuang sendiri ke tempat sampah. Bila perlu, ia meminta pemedek untuk membawa sisa sembahyang tersebut pulang ke rumah masing-masing. Hal ini bertujuan agar di Besakih tidak penuh oleh bekas canang atau sisa persembahyangan. Pemedek begitu sampai di Besakih diharapkan bersembahyang terlebih dahulu. "Jangan begitu sampai berbelanja, namun sembahyanglah dahulu, setelah sembahyang baru berbelanja," katanya. *
Authors DOI Keywords Panca Wali Krama, Eruption, Mortuary Abstract Balinese people hold Yadnya ceremony Panca Wali Krama every ten years. Panca means Five, represents five elements that compose the universe Panca Maha Bhuta, while Bali or Wali means offering or ceremony. In this year, the ritual was considered exceptional due to it took place twice, the first in Lempuyang Luhur Temple and the second in the largest temple in Bali, Besakih Temple. Hindu communities from all regions in Bali came to participate in the event, as their symbol of faith toward the God Almighty. This ten-year event took place for more than twenty days in Lempuyang Luhur and thirty-seven days in Besakih temple. While Panca Wali Krama was taking place at Besakih, Mount Agung has been reported experiencing several hiccups on 9, 15 and 21 March 2019. Despite the eruption, the communities kept doing their prayer and service at the temple located on the slope of the volcano. Meanwhile, another crisis was faced by hospitals on the island, due to an announcement from the official to ban Ngaben ceremony until the Yadnya is over. As a result, Mortuary in several hospitals was reported overloaded. The official and Government hastily response to the overloaded problem, since according to Balinese Hindu believe, keeping the dead body stranded was considered defiling the area.besakih #pancawalikrama #melasti #hindubali Hari Ke-2 Pura Puseh Tohjiwa - Pura Puseh Tebole Balinese people hold Yadnya ceremony Panca Wali Krama every ten years. Panca means Five, represents five elements that compose the universe Panca Maha Bhuta, while Bali or Wali means offering or ceremony. In this year, the ritual was considered exceptional due to it took place twice, the first in Lempuyang Luhur Temple and the second in the largest temple in Bali, Besakih Temple. Hindu communities from all regions in Bali came to participate in the event, as their symbol of faith toward the God Almighty. This ten-year event took place for more than twenty days in Lempuyang Luhur and thirty-seven days in Besakih temple. While Panca Wali Krama was taking place at Besakih, Mount Agung has been reported experiencing several hiccups on 9, 15 and 21 March 2019. Despite the eruption, the communities kept doing their prayer and service at the temple located on the slope of the volcano. Meanwhile, another crisis was faced by hospitals on the island, due to an announcement from the official to ban Ngaben ceremony until the Yadnya is over. As a result, Mortuary in several hospitals was reported overloaded. The official and Government hastily response to the overloaded problem, since according to Balinese Hindu believe, keeping the dead body stranded was considered defiling the area. To read the full-text of this research, you can request a copy directly from the has not been able to resolve any citations for this has not been able to resolve any references for this publication. Menetapkan: KEPUTUSAN PESAMUHAN MADYA PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PROVINSI BALI TENTANG UPACARA PANCA WALI KRAMA DI PURA AGUNG BESAKIH TAHUN 2019. Pertama : Bahwa Upacara Panca Wali Krama akan dilaksanakan pada tanggal 06 Maret 2019 tidak diperkenankan melakukan ''atiwa-tiwa/ngaben'' dalam rentang waktu dari tanggal 20 Januari s/d 4
Oleh Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda - Piodalan Panca Wali Krama di Pura Besakih yang melarang adanya aktivitas kematian, menyebabkan banyak kamar jenazah di rumah sakit overload atau tak muat. Bahkan tidak sedikit pula umat Hindu di Bali membawa keluarganya yang sakit keras untuk tinggal di luar Bali. Hal itu untuk mengantisipasi ketika ajal menjemput, mereka mendapatkan tempat untuk menitipkan jenazah sampai piodalan di Pura Besakih selesai. Jika di suatu desa adat menerapkan tradisi mekingsan ring pertiwi dikubur, tentu masyarakat sedikit bisa bernafas lega lantaran jenazah bisa dikubur dengan cara nyulubin. Namun jika desa adatnya menerapkan tradisi mekingsan ring gni dibakar, tentu membuat warga menjadi kesulitan. Apakah memang tidak diperbolehkan menggelar ritual kremasi serangkaian Panca Wali Krama di Pura Besakih? Saya tidak memungkiri, keputusan yang melarang ritual kematian serangkaian Panca Wali Krama di Pura Besakih telah menimbulkan dialektika. Bahkan saya sendiri banyak mendapatkan komplain terkait ini. Katanya, kok orang yang pulang pada Tuhan dihambat? Memang, ketika sebuah keputusan apapun dibuat, jika tidak memikirkan implikasi atau akibat yang ditimbulkan, akan melahirkan dialektika atau komunikasi dua arah. Namun kalau bisa, jangan jadikan dualisme, tetapi jadikan dwalita. Keputusan-keputusan yang tidak diatur oleh kitab suci adalah kewenangan dari para pandita. Di situlah pentingnya ada Parisada Hindu Dharma Indonesia PHDI.
.