A couple is currently on trial in Singapore for allegedly starving their domestic worker to the point where she weighed only 29 kilograms 64 pounds. The domestic worker, Thelma Gawidan, who is from the Philippines, says she endured more than a year of subsisting on instant noodles and bread, long working hours â sometimes exceeding 24 hours at a time â and humiliating treatment, such as being forbidden from bathing or brushing her teeth regularly. Such cases of egregious abuse of migrant domestic workers in Singapore are nothing new. I wrote a Human Rights Watch report exactly 10 years ago, Maid to Order Ending Abuses Against Migrant Domestic Workers in Singapore, which detailed how gaps in Singaporeâs laws and practices allowed mistreatment like food deprivation, confinement in the workplace, unpaid wages, and verbal and physical abuse to flourish. Singapore has made changes since then, but still lags behind other countries in other respects. Ten years ago, Singapore completely excluded domestic workers from even basic labor law protection, with no guarantees for rest days and no limits on recruitment fees that left workers deeply indebted. After growing exposure and activism by domestic workersâ groups, journalists, and activists such as HOME Singapore and TWC2 â not to mention the bad publicity after more than 150 domestic workers fell to their deaths from tall buildings, mostly from suicide or risky work assignments cleaning windows or hanging clothes â the government introduced some reforms. View a stunning photo slideshow of the lives of migrant domestic workers. >> Today, Singaporeâs migrant domestic workers are entitled to a weekly day of rest and have their recruitment fees capped at two monthsâ salary, but employers and employment agencies often find ways to skirt these rules. Singapore has also improved the ways workers can lodge complaints against their employers and has publicized prosecutions of employers who mistreat their domestic workers. However, cases of exploitation regularly occur, and Singapore has rejected repeated calls to include domestic workers in its main labor code, which would ensure limits to their working hours and the range of basic protections that other workers receive. Singapore was one of nine countries globally that did not support the International Labor Organizationâs 2011 Domestic Workers Convention, which has spurred more than 30 countries to improve their laws protecting this often marginalized and exploited group. Singaporean authorities have charged Gawidanâs employers, Lim Choon Hong and Chong Sui Foon, with one offense under the Employment of Foreign Workers Act, and they face up to 12 months in prison and a S$10,000 US$7,100 fine. But these charges hardly seem commensurate to the abuse Gawidan alleges. Itâs time for Singapore to include domestic workers under its main labor code, ensure restitution to those who suffer abuse, strengthen relationships with migrant domestic workersâ organizations, and punish abuse of migrant workers. The prosecution of Gawidanâs employers shows both the changes that have taken place and how much more needs to be done.TampilanPetugas; Koleksi Nasional; Sitasi Cantuman; Kirim via Email; Ekspor Cantuman. Export to RefWorks Favorit; KEBIJAKAN PENAL DAN NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN KEKERASAN RUMAH TANGGA ( DOMESTIC VIOLENCE ) PENAL AND NON PENAL POLICY OF DOMESTIC VIOLENCE RESOLVING . Tersimpan di: Main Author: GUNAWATI, DEWI : Format: Thesis
âș RisetâșPanggil Mereka Pekerja Rumah... Sublema âpekerja rumah tanggaâ sebagai kepanjangan dari akronim PRT harus mulai dibiasakan. Keberpihakan pada nasib PRT dimulai dari mengubah penyebutannya. OlehYohanes Mega Hendarto 6 menit baca Kompas Devi Triasari bersama ibunya, Karinem, seusai wisuda di Universitas Sebelas Maret, Solo, Jawa Tengah, Juni 2015. Karinem yang sehari-hari sebagai pekerja rumah tangga ini berhasil mengantarkan anaknya menempuh pendidikan tinggi dan lulus cum laude dari Fakultas Hukum pekerja rumah tangga PRT memang masih asing di telinga masyarakat dibandingkan pembantu atau asisten rumah tangga. Alasannya jelas, istilah pembantu atau asisten rumah tangga telah lama melekat setelah istilah babu tentunya. Di balik istilah, ada identitas dan hak dasar yang diperjuangkan para sejarahnya, tidak ada sumber yang jelas tentang asal muasal pekerjaan domestik yang masih eksistensinya masih terjaga hingga kini. Satu yang patut dicatat, pekerjaan domestik tidak dapat dilepaskan dari sejarah perbudakan yang berlangsung dari era Yunani Kuno hingga awal abad ke-19. Bahkan, Rachel Zelnick-Abramovitz menuliskan dalam jurnalnya bahwa budak di Yunani Kuno tidak dianggap layaknya rakyat biasa, derajatnya jauh lebih rendah, dan tidak dianggap sebagai warga negara. Begitulah budaya perbudakan berjalan seiring zaman. Para budak diperjualbelikan dengan cara lelang dan bekerja kepada majikannya seumur hidup, entah melakukan pekerjaan domestik, mengurus hewan, atau bekerja di ladang. Jangankan upah, mendapatkan majikan yang masih memberinya makan saja sudah Serikat menjadi negara yang mengatur ketat mengenai perbudakan sejak 1619, terutama status kepemilikan majikannya. Para budak tersebut didatangkan dari Afrika dan dari sinilah terbangun fondasi sentimen rasisme antara kulit hitam dan kulit putih, terutama di AS. Isu perbudakan juga merambah ke bidang politik karena itulah salah satu isu utama munculnya perang sipil antara AS Bagian Utara Partai Demokrat anti perbudakan dan AS Bagian Selatan Partai Republik properbudakan.KOMPAS/HARIS FIRDAUS Jumiyem, pekerja rumah tangga asal Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, saat ditemui di Kota Yogyakarta, Jumat 29/10/2021. Walau menjadi pekerja rumah tangga, Jumiyem berhasil melanjutkan pendidikan hingga bangku sistem perbudakan di AS dilakukan oleh Presiden Abraham Lincoln pada 1 Januari 1863 dengan menerbitkan Proklamasi Emansipasi Emancipation Proclamation. Meski tidak langsung menghapus sistem perbudakan, upaya tersebut nyatanya cukup berhasil secara bertahap. Hanya saja, negara-negara Eropa masih melanggengkan sistem tersebut, salah satunya para pendatang Belanda di Hindia banyak kisah perbudakan yang dapat ditelusuri dari sumber-sumber sejarah sebelum kemerdekaan Indonesia. Ringkasnya, rumah tangga bangsawan dan pejabat VOC umumnya memiliki belasan âjongosâ untuk laki-laki atau âbabuâ untuk perempuan yang dipekerjakan untuk mengurus rumah, memasak, dan menjaga anak-anak majikan. Sesungguhnya, yang terjadi di Hindia Belanda tidak dapat dikatakan murni perbudakan karena para âjongosâ atau âbabuâ mendapatkan upah, yang memang sedikit demikian, praktik pekerjaan domestik di Hindia Belanda sudah berlangsung sejak masa kerajaan. Secara familier, para perempuan yang menjadi pelayan di istana biasa disebut dayang-dayang. Mereka biasanya tinggal bersama di majikannya dan dalam budaya Jawa praktik ini dikenal sebagai ngenger adalah tradisi seorang anak dari keluarga yang kurang mampu, lalu dititipkan kepada kerabatnya atau keluarganya yang lebih mapan. Tujuannya, anak tersebut ditanggung biaya hidupnya dan diharapkan mendapatkan pendidikan atau pekerjaan layak guna memperbaiki kehidupannya kelak. Sebagai balasannya, anak tersebut harus membantu melakukan pekerjaan domestik di rumah yang ia dalam budaya Jawa, laku ngenger juga mengandung kepercayaan bahwa jika ingin hidup sukses atau berhasil, maka dekatilah dulu orang-orang bendara yang sudah lebih dulu mencapainya. Dalam kisah kuno, laku ngenger misalnya dilakukan oleh Damarwulan yang tinggal bersama Patih Majapahit atau Jaka Tingkir yang ngenger kepada Sultan Trenggana. Kisah-kisah itu menjadi inspirasi atau rujukan masyarakat Jawa untuk melakukan hal laku ngenger ini masih dapat diamati dalam praktik yang dilakukan para Abdi Dalem di Keraton Yogyakarta. Terlepas dari status aparatur sipil yang kini diberikan kepada sebagian abdi dalem, semangat pengabdian kepada Keraton Yogyakarta tetaplah sama nyawiji total, greget penuh penghayatan, sengguh percaya diri, dan ora mingkuh tidak gentar.Maka selain faktor kedatangan kolonial Belanda, faktor budaya turut memberikan sumbangan dalam membentuk praktik mempekerjakan orang lain untuk mengurus keperluan domestik. Karena berasal dari sumber budaya yang tidak tunggal, beragam istilah pun silih berganti untuk menyebut para pekerja domestik HELLEN SINOMBOR Suasana pelatihan di Sekolah Pekerja Rumah Tangga PRT di sebuah rumah di Jalan Paso, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Juni 2017. Sebagai warga negara, PRT memiliki hak diakui statusnya sebagai pekerja agar dapat menikmati jaminan sosial dan perlindungan yang istilahSejatinya dalam karya sastra, sosok âbabuâ mulai muncul di paruh pertama abad ke-18. Ketika itu di Inggris muncul sebuah novel dalam bentuk surat-menyurat berjudul Pamela karangan Samuel Richardson 1740. Di Amerika, sosok babu dalam karya sastra mendapatkan tempat yang cukup penting pada akhir abad ke-20, khususnya karya-karya yang ditulis imigran wanita dari dunia berdasarkan pelacakan dari arsip pemberitaan harian Kompas sejak 1965 dan karya seni, seperti film, novel, atau lagu, dapat ditelusuri peralihan istilah dari babu menjadi PRT. Pertama kali harian Kompas menggunakan kata âbabuâ dalam berita pada 25 Agustus 1965 yang berisi peristiwa di Filipina tentang penembakan seorang majikan kepada âbabuâ yang berada di tahun-tahun berikutnya, kata âbabuâ masih cukup sering digunakan redaksi harian Kompas hingga 5 Maret 1990. Uniknya, sublema âpembantu rumah tanggaâ sudah muncul di harian Kompas edisi 12 Juni 1973 dan mulai digunakan seterusnya. Jadi, Kompas menerapkan pergantian antara penggunaan kata âbabuâ dan sublema âpembantu rumah tanggaâ sejak 1970-an. Memang, pada periode 1990-1997 kata âbabuâ masih dimuat di Kompas, tetapi dalam konteks pencantuman nama suatu acara, surat dari pembaca, atau rubrik konteks waktu yang sama, yakni pada 1960-an hingga 1990-an, ada dua karya seni lokal yang dapat dijadikan rujukan penggunaan kata âbabuâ yang masih dianggap lumrah kala itu. Pertama, novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi yang terbit pertama pada 1978. Kedua, film Selamat Tinggal Jeanette karya sutradara Bobby Sandy yang diproduksi pada soal film tentang âbabuâ, tentu film Inem Pelayan Sexy 1976 besutan sutradara Nya Abbas Akup tidak dapat dilupakan. Film terlaris di Jakarta dengan jumlah penonton itu memiliki tiga sekuel yang ditayangkan setahun kemudian. Meski judulnya agak vulgar, film ini berisi kritik sosial yang tajam mengenai peran penting seorang âbabuâ dalam rumah tangga dan disajikan dengan nuansa humor. Film ini masih menggunakan kata âbabuâ dalam percakapan salah satu adegan di Inem Pelayan Sexy III 1977, ada suatu rapat besar yang dihadiri âbabu-babuâ dari seluruh provinsi Indonesia. Dalam rapat itu, kritik sosial disampaikan dengan adegan para âbabuâ yang mengajukan pernyataan dan pertanyaan kepada dewan pimpinan rapat. âDi tempat saya, anak-anak di bawah umur sudah bekerja menjadi babu. Apakah itu diperbolehkan undang-undang?â tanya salah seorang PUTRANTO Al Imamah atau biasa dipanggil Ira saat ditemui di Banyuwangi, Jawa Timur, Agustus 2018. Ira merupakan asisten rumah tangga paruh waktu yang ikut mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif DPRD Banyuwangi di Pemilu 2019 melalui Partai kata âjongosâ maupun âbabuâ sesungguhnya banyak dipakai sebelum perang kemerdekaan 1945. Bisa dikatakan, kedua kata ini adalah peninggalan masa kolonial. Seiring waktu, kata âjongosâ dan âbabuâ menghilang dan jarang digunakan karena dipandang mengandung unsur antikemanusiaan. Ada nada feodalistik sekaligus kolonial yang terkandung dalam kata-kata antara kata âbabuâ atau âjongosâ ke sublema âpembantu rumah tanggaâ terjadi di 1990-an. Merujuk Kamus Umum Bahasa Indonesia KUBI 1952, Poerwadarminta menyamakan arti antara âpelayanâ dan âpembantuâ. Tentu ini menjadi persoalan karena berpotensi sebatas eufemisme kata âbabuâ, tapi belum terpikirkan oleh masyarakat saat sublema âpembantu rumah tanggaâ lambat laun menjadi lazim digunakan saat ini, bahkan demi efisiensi disingkat menjadi PRT. Karena adanya potensi eufemisme âpembantuâ dari kata âbabuâ, kini mulai lantang dikampanyekan penggunaan istilah âpekerjaâ atau lengkapnya âpekerja rumah tanggaâ. Diharapkan, mereka yang bekerja di dalam rumah diperlakukan sebagai pekerja umumnya dengan hak dan ketentuan yang terbiasaIstilah âpekerjaâ menjadi sebuah pencerahan dan pembebasan belenggu budaya bagi tiap orang yang bekerja di ranah domestik. Langkah ini turut diikuti dengan rancangan undang-undang yang menggunakan istilah âpekerjaâ dalam RUU Perlindungan Pekerja Rumah lain pun muncul. Masyarakat umumnya terbiasa menyebut istilah pekerja domestik dengan sublema yang sudah disingkat PRT baca pe-er-te. Namun, PRT sendiri memuat arti ganda, bisa âpekerja rumah tanggaâ atau âpembantu rumah tanggaâ.Jika diartikan âpembantu rumah tanggaâ, itu pun tidak keliru sebab dalam KBBI dimuat sublema âpembantu rumah tanggaâ, sedangkan âpekerja rumah tanggaâ belum tercantum di sana. Alasan dari segi gramatikal, kata âpekerjaâ hanya mengenal kata sandang âahliâ, âharianâ, âkasarâ, âmingguanâ, âmusimanâ, dan âpabrikâ. Maka, ada baiknya dalam konteks saat ini, ada revisi dari KBBI untuk menggunakan sublema âpekerja rumah tanggaâ daripada âpembantu rumah tanggaâ.Kompas Seorang pekerja rumah tangga, Suriyah, mengulang kembali materi perkuliahan di sela-sela pekerjaannya mengasuh anak di kompleks perumahan di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, 3/10/2012.Sembari menanti revisi dari segi tata bahasa tersebut, ada baiknya masyarakat mulai membiasakan diri untuk menggunakan sublema âpekerja rumah tanggaâ. Penggunaan istilah ini begitu penting bagi perjuangan hak para pekerja domestik karena mengandung substansi mendasar yang membedakan antara pembantu dan juga, menjadi PRT adalah sebuah pilihan pekerjaan. Budaya masyarakat, tepatnya ngenger, memengaruhi cara pandang terhadap PRT yang dianggap sebagai bagian dari keluarga. Meskipun anggapan itu baik, secara tidak langsung cara pandang itu justru melemahkan posisi PRT sebagai pekerja dalam hubungan kerja yang juga Mengapa Perlu UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga?Dengan pengakuan status sebagai pekerja, PRT dapat menikmati jaminan sosial dan perlindungan yang sepantasnya. Begitu juga soal pengaturan upah yang tidak lagi tersubstitusikan dengan jatah makan atau tempat tinggal dengan menginap di rumah kata-kata jelas memiliki riwayat, makna, dan emosi. Kata-kata juga mengalami perubahan dan perkembangannya seturut zamannya. Ada kata yang bertahan, ada kata yang hilang, dan ada kata baru yang muncul. LITBANG KOMPASBaca juga Lindungi PRT dengan Regulasi
Formasiyang dibutuhkan adalah Petugas Penerima Tamu (Front Office) sebanyak 1 (satu) Orang. 4. Dokumen Persyaratan Lamaran Pekerjaan harus dikirim ke email dengan alamat email : bapenda.ppbj@ diharuskan mengetik di kolom Subject dengan format FO _(NAMA PELAMAR)_(NOMOR NPWP). Contoh : FO _ LIA _123456789012345. 5.